Selasa, 23 Maret 2010

kebatinan

Kejawen dan kebatinan di Jawa bagaikan misteri yang selalu menarik bagi kalangan budayawan, ilmuwan, dan akademisi. Mereka terus mencoba memahami apa yang tersimpan di dalamnya. Sudah umum diketahui, banyak aliran kejawen dan kebatinan yang hingga kini berevolusi bertahan hidup dalam modernitas zaman.
Paul Stange, mantan dosen senior dalam Program Asian Studies di Murdoch University, Perth, Australia, begitu tergila-gila melakukan studi tentang kejawen dan aliran kebatinan di Jawa. Mantan pengajar subyek Southeast Asian Cultural and Religious History ini menjatuhkan pilihan pada Sumarah, sebuah paguyuban aliran kebatinan yang didirikan di Yogyakarta.
Paul mengungkap seluk-beluk Sumarah dalam bukunya setebal 394 halaman berjudul Kejawen Modern: Hakikat dalam Penghayatan Sumarah yang diterbitkan Penerbit Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS). Paul dalam diskusi bukunya di Pesantren Kaliopak, Piyungan, Bantul, beberapa waktu lalu, mengungkapkan, studinya tentang Sumarah untuk bahan penulisan disertasi doktoral.
Paul dalam bukunya itu mengungkapkan, Sumarah juga sama sekali tidak mendefinisikan dirinya dengan sekumpulan teknik, doktrin-doktrin, dan personalitas tertentu. Inilah, menurut Paul, yang membuatnya berbeda dengan banyak sistem keagamaan dan aliran-aliran kebatinan yang ada lainnya. ”Orientasi latihan (kebatinan) sudah mengarah pada upaya harmonisasi atau kepekaan dengan dunia luar,” kata Paul.
Dalam ajaran Sumarah, warga Sumarah yakin bahwa Tuhan itu ada, yang menciptakan dunia akhirat dan seisinya serta mengakui rasul- rasul utusan Tuhan dan kitab suci yang ada. Hampir semua anggota secara blak-blakan mengaku sebagai muslim. ”Bersama semua gerakan kebatinan Jawa, Sumarah melihat dirinya sebagai sekelompok individu yang memiliki komitmen melaksanakan apa yang hanya sekadar dipercayai oleh kalangan lain,” papar Paul.
Tak memiliki rujukan
Sumarah merupakan praktik kebatinan Jawa yang tidak memiliki buku rujukan khusus yang berisi segala hal tuntunan tentang praktik ajarannya. Interaksi praktis latihan kebatinan berlangsung tanpa melibatkan petunjuk atau pedoman tertentu. Sumarah mengajarkan kepada pengikutnya sanggup selalu ingat kepada Tuhan, menghindarkan diri dari rasa sombong, takabur, percaya pada hakikat kenyataan, serta sujud berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Benih Sumarah yang dirintis Soekinohartono, kelahiran 27 Desember 1897 di Semanu, Gunung Kidul, mulai tersemaikan pada akhir tahun pemerintahan Belanda di Indonesia. Sumarah selanjutnya terus berkembang matang sebagai organisasi modern pada periode awal terbentuknya negara ini.
Paul mencatat, menjelang akhir 1937, Sumarah sudah mendapatkan 20 anggota. Menjelang 1939, pengikutnya nyaris mencapai 500 orang. Menjelang 1945, pamong-pamong Sumarah sudah tersebar bukan hanya di wilayah Yogyakarta sebagai pusat penyebaran, melainkan sudah meliputi Magelang, Solo, Cepu, Madiun, dan Ponorogo. Basis penyebaran awal Sumarah dari jaringan priayi yang bersumbu pada Keraton Yogyakarta dan Solo, namun keanggotannya berasal dari beragam kalangan.
Sumarah hanyalah satu dari ratusan aliran kebatinan yang ada di masyarakat, seperti Sapta Dharma, Pangestu, dan Manunggal. Menurut Paul, gagasan psikologis dari aliran-aliran kebatinan itu sebenarnya agak relatif seragam, yakni meyakini kemanunggalan dan mencari keselarasan dengan kosmos, alam, dan Tuhan.

0 komentar: